Keluarga Mahasiswa Sidenreng Gelar Aksi Damai tuntut Reformasi Polisi & Solusi Isu Daerah

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Sidenreng berlangsung secara terbuka, tertib, dan damai di depan gedung DPRD Kabupaten Sidrap pada 3 September 2025. Dalam aksinya, mereka menyampaikan tuntutan yang menggabungkan reformasi kelembagaan negara dengan problematika lokal yang mendesak.

Reformasi Polri yang Lebih Humanis

Koordinator Lapangan, Muh. Aslan, menyampaikan pada aparat kepolisian:

“Tugas besar aparat kepolisian adalah menjaga massa aksi dalam menyampaikan pendapatnya, bukan malah menjadi musuh bagi masyarakat.”
Hal ini sekaligus kritik terhadap pendekatan represif aparat, dan harapan agar penanganan aksi atau aspirasi publik dilakukan secara lebih humanis dan demokratis.

Tuntutan Spesifik Daerah Sidenreng

Demonstran juga mengusung isu lokal yang dinilai mendesak:

  1. Meningkatnya kasus HIV/AIDS secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir—menjadi sorotan serius yang membutuhkan penanganan terpadu dan cepat.
  2. Evaluasi proyek mangkrak Wisata Taman Nona-Nonae, yang telah menyedot anggaran yang besar namun tidak menunjukkan hasil nyata.
  3. Insentif dan fasilitas layak untuk guru yang ditempatkan di wilayah terpencil, agar pelayanan pendidikan tetap berjalan dengan baik dan merata. 

Terlepas dari cuaca panas dan dominasi aparat, para mahasiswa tetap tenang, penuh semangat, dan menunjukkan keteguhan sikap bahwa aksi ini bukan sekadar ikut-ikutan (FOMO), tetapi wujud respons nyata atas kepentingan masyarakat. 

Suasana Aksi dan Respons Pemerintah

Meskipun massa dan aparat berada dalam lingkungan yang sangat terjaga, aksi berjalan tanpa kericuhan. Kehadiran kepolisian secara tegas tetapi bersahabat meminimalkan potensi konflik. Demonstrasi ini menjadi bukti peran mahasiswa sebagai pengingat moral dan penggerak perubahan dalam sistem demokrasi lokal.

Aksi Keluarga Mahasiswa Sidenreng bukan sekadar unjuk rasa biasa—melainkan representasi suara kolektif rakyat yang ingin dilihat dan didengar oleh pengambil keputusan. Dengan mengusung reformasi instansi penegak hukum serta problematika riil yang menyentuh aspek kesehatan, pendidikan, dan pengelolaan anggaran publik, mereka mengusik kesadaran bersama untuk memperbaiki tata kelola daerah.

Kedamaian dalam penyaluran aspirasi ini membuktikan bahwa demokrasi yang sehat terbentuk dari dialog dan aksi kritis yang penuh kedewasaan. Aksi ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk merespons tuntutan publik dengan solusi nyata dan inklusif, serta membuka ruang komunikasi yang lebih aktif dan terbuka antara masyarakat dan lembaga pemerintahan.