Ketua BPW Oi Sulsel: Mayday dan Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Buruh

m darliansya

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day sebagai penghormatan terhadap perjuangan kelas pekerja dalam meraih hak-haknya. Di Indonesia, peringatan ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kondisi buruh dan tantangan yang mereka hadapi, terutama dalam konteks perlindungan hukum yang masih lemah.

Sejarah mencatat bahwa May Day berakar dari perjuangan buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, ketika sekitar 300.000 pekerja melakukan aksi mogok menuntut jam kerja delapan jam sehari. Puncaknya terjadi pada 4 Mei 1886 di Haymarket Square, Chicago, yang dikenal sebagai Haymarket Affair, di mana bentrokan antara polisi dan demonstran menyebabkan korban jiwa. Peristiwa ini menjadi simbol perjuangan buruh untuk hak-hak mereka.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh Internasional dimulai pada 1 Mei 1918 oleh serikat buruh Kung Tang Hwee di Semarang. Namun, selama masa Orde Baru, peringatan ini sempat dilarang dan baru diakui kembali sebagai hari libur nasional pada tahun 2013.

Dalam pandangan Marxian, sistem kapitalisme menempatkan kelas buruh dalam posisi yang dieksploitasi dan teralienasi. Karl Marx menekankan bahwa sejarah masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas, di mana konflik antara kelas penguasa (borjuis) dan kelas pekerja (proletariat) menjadi inti dari dinamika sosial.

Saat ini, tantangan yang dihadapi buruh di Indonesia semakin kompleks, terutama dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dinilai lebih berpihak pada investor dan pemilik modal. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang menuai kritik tajam dari serikat buruh dan akademisi.

Beberapa poin yang dianggap merugikan buruh antara lain:

  • Sistem Kerja Kontrak yang Tidak Terbatas: Penghapusan batasan waktu dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) memungkinkan pekerja dikontrak tanpa batas waktu yang jelas, mengurangi kepastian kerja bagi buruh.

  • Praktik Outsourcing yang Meluas: UU ini tidak membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga (outsourcing), memperluas praktik outsourcing yang sebelumnya terbatas pada pekerjaan penunjang.

Ketua BPW Oi Sulsel ,M Darliansya menyoroti bahwa kebijakan-kebijakan semacam ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi buruh di Indonesia. May Day seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas dan memperjuangkan hak-hak buruh, bukan sekadar seremoni tahunan.

Dalam era digital dan globalisasi, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya menguntungkan pemilik modal, tetapi juga melindungi hak-hak dasar buruh. Perlindungan hukum yang kuat dan adil menjadi kunci untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *