Pertemuan massa aksi yang menolak hadirnya Tambang Pasir di Karossa (Mamuju Tengah) dan Kalukku (Mamuju) dengan Gubernur Sulbar (Suhardi Duka/SDK) pada 09 Mei 2025 masih menyisahkan berbagai pertanyaan. Mulai dari nasib masyarakat di daerah tambang setelah dilakukannya aksi ini, hingga SDK yang seolah tidak mau berdialog lebih lama dengan massa aksi. Sebagaimana diketahui, SDK di hadapan rakyatnya yang sudah menunggu untuk berdialog, hanya bercermarah sekitar 3-5 menit lalu kemudian ditinggalkan begitu saja.
Sikap SDK yang demikian dapat disebut kurang mencerdaskan publik, karena komunikasinya yang cenderung singkat dan tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Ia juga menunjukkan kurangnya kesediaan untuk mendengar dan memahami kebutuhan serta kekhawatiran rakyat. Padahal di sisi lain ia memiliki janji kampanye yang cukup moderat jika diperhadapkan dengan konflik struktural (masyarakat melawan korporasi). Pada debat ke-2 Pilgub Sulbar misalnya, ia menjanjikan kepememimpin pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas partisipatif, terbuka terhadap kritik, serta bebas dari korupsi dan kolusi. Dalam kesempatan yang sama, ia juga berjanji akan menghadirkan kepastian hukum bagi setiap warga negara dan pelaku usaha di Sulbar. Ini berarti bahwa jalur aspirasi masyarakat tetap terbuka meski adanya perlindungan hukum bagi investor. Namun saat pertemuan yang harusnya membahas dampak tambang pasir di Karossa dan Kalukku yang telah memicu konflik horizontal di tengah masyarakat ini, SDK justru mengingkari janjinya dengan menolak berdiskusi langsung dengan seluruh elemen masyarakat. Ia bahkan memperhadapkan massa dengan dipasangnya kawat berduri di depan Kantor Gubernur. Meskipun dalam aksi tersebut, SDK meminta 10 orang perwakilan untuk audiensi, namun seluruh warga menolak diwakili karena mereka ingin semua orang dapat hadir secara langsung tanpa perwakilan.
Dalam proses berdemokrasi, ruang publik menjadi elemen yang sangat berarti. Ruang publik itu harus dengan mudah diakses semua orang, termasuk kekuatan solidaritas warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik. Konsep ini diperkenalkan oleh Jurgen Habermas dalam teori kritis rasionalitas komunikatif-nya. Didalamnya diupayakan agar tercipta kesalingpahaman antara pembicara dengan lawan bicaranya dan tempat paling ideal untuk penerapannya adalah Ruang Publik (Public Sphere). Menurut Habermas ruang publik adalah semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan terbentuknya opini publik. Ruang publik adalah suatu diskursus yang memungkinkan debat-debat dan pengemukaan pendapat terjadi dalam kondisi kesetaraan. Habermas menggambarkan bahwa ruang ini meliputi infrastruktur nyata dan norma-norma yang mendukung dan memungkinkan kritik-kritik politik diperbincangkan. Panduannya adalah argumentasi rasional dan diskusi kritis yang menjadikan kekuatan argumen menjadi lebih penting dibandingkan identitas si pembicara. Habermas melihat bahwa hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi publik kritislah yang menjadi kekuasaan yang di rasionalisasikan.
Dalam ide tentang ruang publik ini, Habermas melihat adanya mediasi bagi dua pihak yang dibedakan secara analitis sebagai “negara” dan “masyarakat”. Di dalamnya ia melihat potensi tumbuhnya sebuah lingkungan dan suasana komunikatif yang memungkinkan tercapainya demokrasi dalam masyarakat dengan jumlah anggota yang banyak. Ia mengusulkan “Deliberative Democracy” sebagai syarat komunikasi dan argumentasi yang terjadi dalam ruang publik (F. Budi Hardiman; 2009), dimana demokrasi haruslah berdimensi deliberatif dengan kebijakan publik yang harus di sahkan terlebih dulu melalui diskursus publik. Artinya demokrasi deliberatif memberi ruang terbuka bagi publik. Pengesahan undang-undang misalnya, haruslah dilalui dalam suasana demokrasi deliberatif, dimana pembahasannya harus melalui mekanisme legislatif dan diskursus-diskursus yang formal dan informal sesuai dinamika masyarakat sipil.
Demokrasi deliberatif memberikan ruang diluar administrasi negara, yaitu jaringan komunikasi publik dalam masyarakat sipil. Artinya demokrasi deliberatif memberi tempat bagi masyarakat yang emansipatoris untuk melakukan legislasi melalui ruang-ruang publik. Namun pertemuan singkat antara SDK dan masyarakat yang menolak tambang pasir memperlihatkan ruang publik Sulbar yang sedang diuji. Sikapnya menyisahkan pertanyaan mengenai kemungkinan tertutupnya dialog yang inklusif, karena ia menutup diri dari aspirasi masyarakat. Masa depan demokrasi di Sulawesi Barat pada akhirnya akan bergantung pada kemampuan SDK dan jajarannya untuk membuka diri terhadap aspirasi masyarakat dan membangun komunikasi yang efektif. Ia mesti menunjukkan komitmennya untuk mendengarkan dan merespons kebutuhan masyarakat, bukan hanya memenuhi kepentingan korporasi dan investasi semata.
Rabu,14,mei,2025
Ferdy Hidayat;kader fppi kota mamuju