Mamuju – Gelombang perlawanan masyarakat pesisir kembali menggema. Di tengah derasnya arus investasi dan kebijakan pro-korporasi, laut sebagai ruang hidup bersama kini mengalami perampasan sistematis. “Ocean grabbing” atau perampasan ruang laut tak lagi sebatas istilah akademik, tapi telah menjelma menjadi kenyataan pahit bagi ribuan nelayan dan komunitas adat di pesisir Sulawesi Barat.
Menurut Wahyu dari Pusat Studi Strategis Malaqbi (Pussma), tragedi laut milik bersama ini bermula dari legalisasi eksploitasi lewat kebijakan negara yang secara terang-terangan menguntungkan sektor swasta. Dalam narasi ‘tragedy of the commons’, laut yang seharusnya menjadi milik bersama, kini menjadi ajang kontestasi bebas yang pada akhirnya hanya menguntungkan mereka yang berkuasa.
“Pemerintah dan korporasi mendominasi eksploitasi sumber daya laut. Akses, kontrol, hingga hak kelola masyarakat lokal dirampas secara legal,” ujar Wahyu.
Legalisasi ini diperkuat dengan lahirnya regulasi seperti UU Ibu Kota Negara (IKN), UU Cipta Kerja, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 dan Permendag No. 20 Tahun 2024 yang membuka kembali keran ekspor pasir laut—setelah sempat ditutup selama dua dekade.
Tak hanya secara regulatif, praktik perampasan ini juga merambah ke wilayah konkret. Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah tersebar di hampir seluruh kabupaten Sulawesi Barat, tinggal menunggu waktu untuk operasi produksi secara masif. Padahal, aktivitas pertambangan pasir laut terbukti merusak ekosistem, memperparah abrasi pantai, dan menurunkan kesejahteraan nelayan.
Gerakan penolakan terus bermunculan. Di Mamuju, Pasangkayu, dan Mamuju Tengah, masyarakat menolak keras aktivitas tambang. Namun suara mereka dibalas dengan kekerasan. Di Karossa, seorang warga bernama Jafar mengalami pembacokan karena menolak tambang. Sementara itu, PT Jaya Pasir Andalan sempat dipukul mundur warga setelah nekat memasukkan alat berat ke lokasi yang telah disepakati tidak boleh ditambang.
“Banyak perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada warga terdampak, bahkan melakukan penyerobotan hutan lindung dan melarang nelayan melintas di wilayah konsesi,” ungkap laporan tersebut.
Ironisnya, Gubernur Sulawesi Barat dalam pidatonya pada Hardiknas 2 Mei 2025 menyebut masyarakat penolak tambang sebagai ‘preman’. Sebuah pernyataan yang dinilai menyudutkan rakyat kecil dan memihak pada perusahaan.
“Gubernur justru menyebut rakyat sebagai preman, padahal fakta menunjukkan perusahaanlah yang melanggar hukum dan menyingkirkan hak masyarakat,” ujar Wahyu.
Kisah ini bukan hanya soal konflik ruang dan sumber daya, melainkan pertarungan antara kepentingan rakyat dan ambisi korporasi yang difasilitasi negara. Ketika negara absen dalam melindungi hak-hak masyarakat pesisir, maka tragedi laut milik bersama bukan sekadar kemungkinan—tapi sudah menjadi kenyataan yang menyakitkan.